Ketika seekor serigala kalah dalam pertarungan dan tahu bahwa ia tidak memiliki kesempatan untuk menang, ia tidak akan terus bertarung. Sebaliknya, ia akan menundukkan kepalanya dan menyerah. Ia menunjukkan lehernya kepada serigala lain, menawarkan dirinya tanpa perlawanan.
Namun hal yang menakjubkan terjadi, serigala yang menang berhenti. Ia tidak menyerang, tidak membunuh. Sesuatu di
dalam dirinya yang lebih kuat dari naluri untuk mendominasi, menghentikannya.
Seolah-olah tubuhnya sendiri mengingatkannya bahwa tidak ada gunanya
menghancurkan orang yang telah menerima kekalahan.
Melindungi miliknya lebih
penting daripada menunjukkan kekuatan. Itu
bukanlah kepengecutan. Ini bukan kelemahan. Ini adalah kebijaksanaan yang buas. Tidak ada yang memuji orang yang membunuh
serigala yang menyerah. Tidak ada yang merayakan kekerasan yang tidak perlu. Serigala
tahu, menang bukan berarti menghancurkan yang lain, tetapi tahu kapan harus
berhenti. Dengan demikian, keduanya bertahan hidup dan kehidupan terus
berjalan.
Seandainya
saja manusia memahami hal itu. Bahwa ini bukan tentang kekuasaan, kebanggaan,
atau balas dendam. Terkadang, hal yang paling berani adalah mengetahui cara
untuk menyerah. Dan hal terkuat adalah mengetahui bagaimana cara memaafkan. Terkadang kita berpikir bahwa menyerah berarti
kalah, tetapi tidak selalu demikian. Mengetahui
kapan harus berhenti, kapan harus melepaskan kesombongan, juga merupakan bentuk kecerdasan.
Serigala mengajarkan kita bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada mendominasi orang lain, tetapi pada rasa hormat kepada mereka, bahkan dalam kekalahan. Sebagaimana dalam Dhammapada Bab.I Syair 5 Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi.
Semoga bermanfaat