Berpisah dengan yang dicintai
adalah konsekuensi kehidupan yang harus diterima oleh semua orang. Ini terjadi pada semua orang yang
mau tidak mau harus bisa menerimanya karena disebabkan oleh kenyataan hidup
seprti anak harus pergi
kuliah di Kabupaten, Kota, atau Provinsi
lain, dikarenakan pekerjaan,
karena anak sudah menikah atau berkeluarga, dan lain sebagainya. Inilah hukum kebenaran yang termasuk dalam delapan kondisi
yang tidak menyenangkan.
Sebenarnya hidup ini adalah untuk
belajar dan mengambil pembelajaran. Kenyataan yang terjadi, walaupun sangat
tidak diinginkan, harus segera diterima, jika tidak maka penderitaan akan berkepanjangan
dan waktu penyadarannya akan sangat lama. Ingatlah setiap manusia pasti
menghadapi hukum kebenaran ini, bukan saya saja, bukan anda saja, tapi
semuanya. Belajarlah bahwa kehilangan itu adalah hal yang biasa dalam
kehidupan.
Sebagaimana kisah Tissa yang suatu saat seorang Thera bernama Tissa
tinggal di Savatti. Pada suatu hari, ia menerima seperangkat jubah yang bagus
dan merasa sangat senang. Ia bermaksud mengenakan jubah tersebut keesokan
harinya. Tetapi pada malam hari ia meninggal dunia. Karena melekat pada seperangkat jubah yang bagus itu, ia terlahir
kembali sebagai seekor kutu yang tinggal di dalam lipatan jubah. Karena tidak
ada orang yang mewarisi benda miliknya, diputuskan bahwa seperangkat jubah
tersebut akan dibagi bersama oleh bhikkhu-bhikkhu yang lain.
Ketika para bhikkhu sedang
bersiap untuk membagi jubah di antara mereka, si kutu sangat marah dan
berteriak, “Mereka sedang merusak jubahku!” Teriakan ini didengar oleh Sang
Buddha dengan kemampuan pendengaran luar biasa Beliau. Maka Beliau mengirim
seseorang untuk menghentikan para bhikkhu, dan memberi petunjuk kepada mereka
untuk menyelesaikan masalah jubah itu setelah tujuh hari. Pada hari ke delapan,
seperangkat jubah milik Tissa Thera itu dibagi oleh para bhikkhu.
Kemudian Sang Buddha ditanya oleh
para bhikkhu, mengapa Beliau menyuruh mereka menunggu selama tujuh hari sebelum
melakukan pembagian jubah Tissa Thera. Kepada mereka, Sang Buddha berkata,
“Murid-murid-Ku, pikiran Tissa melekat pada seperangkat jubah itu pada saat dia
meninggal dunia, dan karenanya ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang
tinggal dalam lipatan jubah tersebut. Ketika engkau semua bersiap untuk membagi
jubah itu, Tissa, si kutu akan merasa sangat membencimu dan ia akan terlahir di
alam neraka (niraya). Tetapi sekarang Tissa telah bertumimbal lahir di alam
dewa Tusita, dan sebab itu, Aku memperbolehkan engkau mengambil jubah tersebut.
Kemudian Sang Buddha membabarkan Syair 240 berikut: Bagaikan karat yang timbul dari besi, bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri, begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri
yang buruk akan menjerumuskan
pelakunya ke alam kehidupan yang
menyedihkan.
Dalam Dhammapada, Syair 214 juga disampaikan: dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan, bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan. Dari uraian di atas maka mari kita jangan melekat agar terbebas dari penderitaan. Kemelekatan adalah salah satu penyebab penderitaan yang tidak berkesudahan. Dengan demikian maka ingin bahagia jangan melekat. Demikian semoga bermanfaat