Ketakutan, kecemasan maupun kekhawatiran adalah penyakit mental yang bersumber dari pikiran. Dalam Aṅguttara Nikāya, iii, 71, ada lima perenungan yang hendaknya kita lakukan untuk mengatasi ketakutan kecemasan maupun kekhawatiran.
Pertama, perenungan terhadap usia tua. Saya wajar mengalami usia tua, saya tidak akan mampu menghindari usia tua. Ketika masih muda, rambut masih hitam, kulit masih kencang, tenaga masih kuat, dan indera-indera masih normal, namun ketika usia tua rambut berubah menjadi beruban, kulit menjadi keriput, dan indera-indera sudah tidak normal lagi. Perenungan ini akan membuat pikiran kita yang semula cemas karena perubahan yang terjadi pada jasmani menjadi tenang dan tidak sombong dengan masa muda.
Kedua, perenungan terhadap penyakit. Saya wajar ada penyakit, saya tidak akan mampu menghindari penyakit. Sakit merupakan rentetan dari sebuah kehidupan yang akan kita alami. Buddha pun masih mengalami sakit jasmani, apalagi kita yang masih awam. Ketika sakit fisik, sering kali kita masih menambah dengan sakit mental, yaitu cemas, khawatir, dan takut terhadap penyakit kita. Namun, dengan perenungan ini, kita tidak akan menambah sakit fisik dengan sakit mental.
Ketiga, perenungan terhadap kematian. Saya wajar mengalami kematian, saya tidak akan mampu menghindari kematian. Setiap kelahiran pasti akan diakhiri dengan kematian. Pada saat ini, banyak orang merasa cemas maupun takut, ketika hendak bepergian. Takut kalau transportasi yang ditumpangi nanti mengalami kecelakaan dan menjadi salah satu korban yang meninggal. Sesungguhnya kematian ini tidak hanya terjadi ketika kita sedang bepergian. Kita duduk atau tidur di rumah pun bisa meninggal, kalau saatnya tiba.
Mengapa kita harus cemas dan takut sehingga kita tidak bisa menikmati perjalanan kita?. Tidak di angkasa atau laut, juga tidak di dalam gua atau di atas gunung; tidak ada tempat di dunia ini yang dapat dipakai sebagai tempat bersembunyi, di mana seseorang dapat terbebas dari kematian. (Dhammapada syair128). Perenungan tentang kematian ini, selain mengurangi rasa cemas dan takut, juga akan membuat kita lebih menghargai kehidupan kita ini.
Keempat, perenungan tentang perubahan. Segala milikku yang kucintai dan kusenangi, wajar berubah, wajar terpisah dariku. Kita memerlukan sarana-sarana penunjang hidup lain, selain empat kebutuhan pokok (pakaian, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan) agar kita tetap dapat bertahan hidup. Kita juga memiliki orangtua, suami, istri, anak, kerabat, serta teman-teman. Kita harus sadar bahwa apa yang kita miliki suatu saat akan berubah dan berpisah dengan kita. Kecemasan, kekhawatiran maupun ketakutan pada perubahan atau perpisahan sering dialami oleh setiap orang. Perenungan ini mengajarkan kita agar tidak terikat pada apapun yang kita miliki, tetapi bukan berarti kita harus bersikap acuh tak acuh pada semua itu. Kita harus merawat barang-barang yang kita miliki, melakukan kewajiban kita dengan baik. Tetapi ketika perubahan itu terjadi, kita harus menerima dengan pikiran yang tenang.
Kelima, perenungan tentang hukum kamma (perbuatan). Hukum kamma adalah hukum perbuatan yang berlaku universal, kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetik. Pelaku kebajikan akan memetik kebahagiaan, pelaku kejahatan akan memetik penderitaan. (Saṁyutta Nikāya, III.415). Lakukanlah banyak kebajikan maka kita akan memetik hasilnya.
Sebagian besar orang mengalami ketakutan dan kecemasan karena tidak memahami hukum kamma dengan benar. Kita tidak bisa menghindari akibat perbuatan buruk kita sendiri. Namun, akibat perbuatan buruk itu bisa kita minimalkan akibatnya, yaitu dengan melakukan perbuatan baik yang banyak. Dengan demikian, meskipun kita diramal tidak baik, kita tidak akan menjadi takut ataupun cemas. Namun, harus menyadari bahwa perbuatan saat ini juga ikut menentukan akibat yang akan di terima. Oleh karena itu, juga harus berhati-hati dalam berbuat.
Kesenangan adalah awal munculnya kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan. Setelah seseorang mendapatkan kesenangan, kemudian muncul keinginan untuk mempertahankan kesenangannya sehingga muncul kemelekatan. Semakin banyak kesenangan yang kita miliki, kecemasan, dan ketakutan juga semakin besar. Semakin kita melekat pada kesenangan-kesenangan tersebut, kecemasan maupun ketakutan akan sering muncul. Namun, apabila kita mengimbangi kesenangan tersebut dengan pengertian Dhamma yang benar, dengan bijaksana memandang segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kecemasan maupun ketakutan akan dapat kita kurangi.
Tugas kita adalah dengan pikiran sadar menyadari bahwa perasaan takut, galau, cemas atau khawatir ini muncul, cukup disadari, jika kita dengan pikiran mindfullness menyadarinya maka perasaan takut, cemas, galau ini tidak akan berkembang.
Kemudian ulangi lafalkan "Namo Tassa Bhagavatto Arahatto Sammasambuddhassa" berulang-ulang, tekadkan Keyakinan kepada Buddha Dhamma Sangha dengan tak tergoyahkan sampai tercapai Nya Nibbana. Ulangi ulangi ulangi, tekankan kuat dalam batin kita, Keyakinan saya kepada Buddha Dhamma Sangha, tak tergoyahkan sampai tercapai Nya Nibbana. Dengan kekuatan Saddha, Dana, Sila, dan Samadhi yang saya laksanakan, Semoga Keyakinan saya terhadap diri sendiri semakin kuat “kuatkan dalam batin dan ulangi berulang-ulang. Semoga dengan kekuatan Tiratana, semua penderitaan penyakit rasa takut, kegelisahan, permusuhan, penyakit, musibah, semuanya lenyap tanpa sisa. Inilah cara mengatasi ketakutan, kecemasan, dan khawatir. Semoga bermanfaat!...